Desa Pakraman Selulung, di Kecamatan Kintamani, Bangli memiliki sejumlah tradisi unik. Desa pakraman yang terdiri atas dua desa dinas ini, yaitu Desa Belantih dan Desa Selulung, menurut sejumlah studi diyakini sebagai salah satu Desa Bali Aga/Bali Mula yang terdapat di wilayah Kintamani Barat. Salah satu cirinya, digunakannya sistem ulu-apad serta adanya struktur kepemimpinan adat yang disebut dengan Jero Singgukan, Jero Kebahu dan Jero Kubayan yang masih dipakai sampai saat ini.
Keunikan lain di Desa Pakraman Selulung, adanya wadak atau sapi duwe yang bebas berkeliaran di wilayah desa tersebut. Wadak adalah sapi Bali jantan yang dilepasliarkan setelah melalui upacara penyucian yang dikenal dengan nama upacara pengeléb. Sapi yang akan digunakan untuk upacara pengeléb harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu sapi Bali jantan yang berusia 6 bulan – 1 tahun serta tidak memiliki kelainan fisik maupun genetik (sebagai contoh albino). Sebelum dilepasliarkan, ekor sapi akan ditarik secara beramai-ramai oleh sekaa teruna sampai sapi tersebut kelelahan. Setelah prosesi tersebut berakhir, sapi akan dilepasliarkan dan selanjutnya disebut dengan wadak.
Pada umumnya, wadak yang telah tumbuh dewasa memiliki cirri khas yaitu berekor buntung. Tarikan yang kuat pada ekor sapi saat upacara pengeléb kemungkinan menyebabkan ekor sapi rusak dan akhirnya ditanggalkan seiring dengan pertumbuhan sapi tersebut. Ekor yang bunting ini sekaligus menjadi ciri khas yang membedakan antara wadak dengan sapi peliharaan penduduk. Pada umumnya, wadak hidup berkelompok. Satu kelompok terdiri atas 2-7 wadak. Meskipun hidup liar, wadak-wadak ini cenderung jinak dan tidak mengganggu penduduk. Hal ini kemungkinan karena wadak juga tidak pernah diganggu oleh penduduk.
Bagi penduduk Selulung, wadak merupakan sapi yang sangat dihormati dan disucikan. Hal ini ditandai dengan digunakannya bahasa Bali Alus untuk menyebutkan segala aktivitas yang dilakukan oleh wadak, seperti ngajeng (makan), makolem (tidur), memargi (berjalan) dan sebagainya. Penduduk juga memercayai wadak yang makan di kebun mereka akan mendatangkan berkah berupa hasil panen yang meningkat di tahun berikutnya. Karena itu, penduduk akan membiarkan wadak mencari makan di sekitar kebun mereka atau hanya akan menghalau apabila wadak merusak kebun mereka.
Penduduk desa tidak ada yang berani membunuh atau menyakiti wadak. Penduduk percaya, mengganggu atau membunuh wadak akan mendatangkan bencana bagi yang bersangkutan. Bagi penduduk desa yang secara sengaja maupun tidak sengaja telah membunuh wadak, diwajibkan melaksanakan upacara pengeléb untuk mengganti wadak yang telah dibunuh. Wadak tidak hanya tersebar di Desa Pakraman Selulung tetapi juga ke desa-desa tetangga. Penduduk di desa-desa tetangga juga sudah mengetahui perihal adanya wadak atau sapi duwe ini sehingga penduduk tersebut tidak ada yang berani menyakiti, membunuh atau menjual wadak.
Sebenarnya, penduduk juga diuntungkan dengan adanya wadak, khususnya bagi penduduk yang memelihara sapi betina. Wadak dengan insting alaminya mampu mengetahui sapi betina yang sedang birahi sehingga mempermudah penduduk dalam memeroleh pejantan. Penduduk tidak perlu repot mendatangkan pejantan atau membeli sperma beku untuk membuahi sapi betina mereka. Dengan adanya wadak, perkawinan akan terjadi secara alami dengan tingkat keberhasilan yang tinggi